Abstrak Tulisan ini mengkaji perbandingan antara mazhab Hanafi dan Syafiâi yang membahas mengenai wali nikah yang fasik. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa menurut mazhab Hanafi wali yang fasik boleh menjadi wali dalam pernikahan anak atau keponaan perempuannya. Sedangkan menurut mazhab Syafiâi tidak sah wali nikah orang yang
Dalam Islam, perbedaan mazhab beragama merupakan hal yang lumrah dan tak perlu dipermasalahkan dengan panjang lebar. Orang-orang yang mudah menyalahkan orang lain dan mudah memaksakan pendapatnya terkait hal keagamaan membuktikan bahwa ia tidak mengerti betul hal-hal yang berkaitan dengan mazhab-mazhab dalam Islam.
Berdasarkanpenjelasan dalam BAB III dapat diketahui bahwa perbedaan pendapat antara Madzhab Hanafi dan Syafiâi tentang wakaf tunai adalah sebagai berikut: Menurut Madzhab
ImamSyafiâi lahir di Palestina. Ketika berusia 2 tahun, ibunya membawa Imam Syafii untuk menetap di Mekkah yang merupakan kota asal ayahnya. Di Kota ini ia belajar ilmu agama dari ulama yang mendedikasikan ilmunya di Masjidil Haram. Ketika berusia 7 tahun, Imam Syafii telah mampu menghafal seluruh ayat Alquran.
Akantetapi, Imam Syafiâi menggolongkan tumâninah sebagai salah satu rukun salat. Mazhab Maliki juga berpendapat seperti Imam Syafiâi bahwa tumaâninah masuk ke dalam rukun salat dan tidak boleh ditinggalkan. Bahkan dalam kitab Mazhab Maliki berjudul al-Fiqhu al-Malikiy, dijelaskan bahwa tumaâninah merupakan âamru lil wujudâ yang
Bahkanmazhab Hanafi dan Maliki memperbolehkan pembayaran zakat kepada satu orang saja diantara delapan kelompok yang ada. Dan menurut mazhab Maliki, memberikan zakat kepada orang yang sangat memerlukan dibandingkan engan kelompok yang lainnya merupakan sunat. Menurut Mazhab Syafiâie, ada perbedaan pendapat tentang mengerjakan amalan ini
. Shalat dikatakan sah apabila rukun-rukun shalat itu sendiri terpenuhi. Adapun pelaksanaan rukun rukun shalat itu sendiri dari 4 mazhab beberapa pendapat dari masing masing pelaksanaannya. Perbedaan 4 mazhab dalam perkara shalat1. Niat Apakah perlu melafaskan niat nawaitu saat hendak melaksanakan shalat?Jawabannya adalah 4 Mazhab sepakat bahwa niat itu adalah wajib sedangkan mengungkapkannya dengan kata-kata adalah hal yang tidak diminta lafas niat tidak perlu. Ibnu Qayim berpendapat bahwa, Nabi Muhammad SAW saat hendak shalat, beliau langsung mengucapkan âAllahu Akbarâ, tanpa mengucapkan kalimat apa pun sebelumnya, dan tidak melaksanakan niat sama sekali. 2. Takbiratul IhramTakbiratul ihram yang akan dibahas adalah perbedaan mengucapkan âAllahu Akbarâ posisi saat mengangkat tangan dan juga dimana tangan diletakkan setelah Takbiratul ihram dilakukan. Pengucapan Takbiratul ihram Mazhab Syafiâi berpendapat BOLEH mengganti âAllahu Akbarâ dengan âAllahu Al-Akbarâ ditambah dengan alif dan lam sebelum kata âAkbarâ Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa TIDAK BOLEH menggunakan bahasa lain selain âAllahu Akbarâ Lantas bagaimana dengan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa BOLEH dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti âAllah Al-Aâdzamâ dan âAllahu Al-Ajallâ Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia. Mazhab Syafiâi, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam bukan orang Arab. Hanafi Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. Diantara perbedaan di atas persamaan yang dapat diambil bahwa semua Mazhab berpendapat bahwa Takbiratul Ihram adalah WAJIB hukumnya dan dengan mengucapkan kata âAllahu Akbarâ yang didengarkan olehnya sendiri ataupun orang lain. Posisi Tangan Saat Takbiratul Ihram Ada beberapa posisi tangan saat mengucapkan âAllahu Akbarâ ada yang mengangkat tangannya sejajar dengan bahu, sejajar dengan telinga dan ada juga yang mengangkat tangan berada di depan dada, manakah di antara posisi tangan ini yang sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Madzhab Maliki dan Syafiâi berpendapat bahwa cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram dan saat hendak ruku serta bangkit dari ruku adalah mengangkat kedua tangan sampai setinggi pundak atau bahu, yaitu berdasarkan hadits berikut Dari Salim bin Abdullah dari Bapaknya, âbahwa Rasulullah tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukukâ Bukhari No. 693 Bagi pria kedua tangan membentang ke samping dengan lebar. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Az Zubair, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Muhammad bin Amru bin Atho` dari Muhammad bin Tsauban dari Abu Hurairah, dia berkata; âBahwasanya Rasulullah jika berdiri untuk shalat beliau mengangkat tangannya dengan membentang.â Ahmad No. 10086 Berbeda dengan Mazhab Maliki dan Syafiâi Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bagi lelaki mengangkat tangan dan meluruskan ibu jari saat takbiratul ihram dan saat hendak ruku serta bangkit dari ruku adalah mengangkat kedua tangan dan meluruskan ibu jari sampai setinggi telinga yaitu berdasarkan hadits berikut dari Nashr bin Ashim dari Malik bin Al Huwairits katanya; Nabi mengangkat tangannya ketika memulai shalat, rukuâ dan saat mengangkat kepala `Iâtidal dari rukuâ, hingga kedua telinganya.â Ahmad No. 19626 Hadis lain, Telah menceritakan kepada kami Wakiâ Telah menceritakan kepada kami Fithr dari Abdul Jabbar bin Wa`il dari bapaknya ia berkata âSaya melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat hingga kedua ibu jarinya menyentuh kedua daun telinganya.â Ahmad No. 18094 Madzhab Hambali Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bagi laki-laki boleh memilih mengangkat tangan setinggi bahu /pundak atau sampai ke telinga karena Imam Ahmad meriwayatkan hadits baik yang menyebutkan setinggi telinga maupun pundak Nailul Authar Jilid 2 Hal. 179-183 Kesimpulan dari perbedaan tinggi mengangkat tangan saat takbiratul ihram adalah dapat dilakukan sejajar atau lebih tinggi dari daun telinga dengan ibu jari rapat dengan jari-jari lainnya juga dapat diregangkan sedangkan wanita hanya mengangkat tangan setinggi bahu saja. Tapi tak menutup diri dari sahnya shalat ketika laki laki mengangkat tangan hanya setinggi bahu karena dari ke semua cara tersebut tersebut terdapat hadis yang menyertainya. Letak Tangan setelah Takbiratul IhramDimana letak tangan setelah Takbiratul Ihram? Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa tangan diletakkan di bawah pusar Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, âTermasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusatâ.HR. Ahmad dan Abu Daud. Mazhab Asy-Syafiâiyah menyebutkan bahwa tangan diletakkan pada posisi antara dada dan pusar. Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia. Al-Muzani w. 264 H menyebutkan dalam kitab Mukhtasharnya Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada. Bagaimana dengan meletakkan tangan di dada? Di antara 4 Mazhab tidak ada satupun yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW shalat dengan mendekap tangan di dada setelah takbiratul ihram kecuali untuk wanita. Kesimpulannya ialah pada saat shalat setelah takbiratul ihram tangan dapat diletakkan di bawah pusat dan di antara pusat dan dada, namun tidak ada satu Mazhab pun yang meletakkan tangan di dada kecuali bagi wanita. 3. Berdiri bagi yang mampu Semua Mazhab sependapat bahwa berdiri adalah hal yang wajib, bila tidak mampu berdiri, maka ia duduk, dan jika ia tidak mampu duduk maka dia dapat melakukannya dengan cara berbaring dengan menghadapkan badan ke arah kiblat. Semua ulama Mazhab selain Hanafi berpendapat bahwa jika tidak dapat duduk, maka shalat dilaksanakan dengan tidur terlentang dengan kaki menghadap Bacaan Al FatihahBacaan Al-Fatihah terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara 4 Mazhab Mazhab Hanafih berpendapat bahwa membaca Al Fatihah dalam shalat Fardhu itu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh. Hal ini didasarkan pada Al-Quran surat Muzammil ayat 20 âBacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,â Mazhab Hanafih juga berpendapat bahwa tidak mesti membaca âBasmalahâ, karena ia tidak termasuk dari bagian dari surat. Dan boleh membacanya secara keras atau pun pelan. Boleh untuk didengarkan sendiri maupun dengarkan oleh orang lain. Mazhab Syafiâi sendiri berbeda pendapat dengan Mazhab Hanafih Mazhab Syafiâi mewajibkan bacaan Al-Fatihah setiap rakaat baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah dan basmalah merupakan bagian dari surat. Al-Fatihah dijaharkan pada 2 rakaat pertama pada shalat Shubuh, Maghrib dan juga Isya, rakaat selebihnya dengan suara pelan. Sedangkan Mazhab Maliki hampir sama dengan mazhab Syafiâi, yang mewajibkan semua bacaan Al Fatihah disetipa rakaat baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah, perbedaannya ialah dalam hal membaca basmalah, Maliki berpendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surat dan disunnahkan untuk ditinggalkan. Lantas bagaimana dengan Mazhab Hambali, wajib membaca surat Al Fatihah namun basmalah merupakan bagian dari surat tetapi harus dibaca dengan pelan. Perkara âAminâ Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, âkalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi âalaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.â 5. Rukuâ Semua ulama mazhab sepakat bahwa rukuâ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thumaâninah di dalam rukuâ, yakni ketika rukuâ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak dan juga perbedaan dalam mengucap Subahaana rabbiyal adziim. Maszhab Hanafih adalah satu-satunya yang berpendapat bahwa thumaâninah tidak diwajibkan hanya membungkukkan badan dengan lurus. Sementara Mazhab yang lain wajib thumaâninah dengan membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya. Syafiâi, Hanafi, dan Maliki tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan Subhaana rabbiyal âadziim âMaha Suci Tuhanku Yang Maha Agungâ Hambali membaca tasbih ketika rukuâ adalah menurut Hambali Subhaana rabbiyal âadziim âMaha Suci Tuhanku Yang Maha Agungâ Hanafi tidak wajib mengangkat kepala dari rukuâ yakni iâtidal dalam keadaan berdiri.Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu dianggap makruh bagi Mazhab-mazhab yang lain wajib mengangkat kepalanya dan ber-iâtidal, serta disunnahkan membaca tasmiâ, yaitu mengucapkan Samiâallahuliman hamidah âAllah mendengar orang yang memuji-Nyaâ 6. Sujud Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. Maliki, Syafiâi, dan Hanafi yang wajib menempel hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. Hambali yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thumaâninah di dalam sujud, sebagaimana dalam rukuâ. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam rukuâ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain wajib duduk di antara dua sujud. 7. Perkara Tahiyat Tahiyat itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu tahiyat awal yang dilakukan pada rakaat kedua dan tahiyat akhir yang dilakukan di rakaat ketiga atau ke empat dalam shalat. Hambali tahiyyat pertama itu wajib sedangkan Mazhab-mazhab lain berpendapat hanya sunnah. Syafiâi, dan Hambali tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi hanya sunnah, bukan wajib. 8. Mengucapkan salam. Syafiâi, Maliki, dan Hambali mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi tidak wajib. Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu Assalaamuâalaikum warahmatullaah âSemoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalianâ Hambali wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. Demikianlah perbedaan dalam melaksanakan shalat menurut 4 mazhab semoga bisa menjadi pelajaran tambahan dan hikmah sehingga mendapatkan ke Ridho an Allah SWT. note dalam perkara jangan mencampur campurkan mazhab, di Indonesia Mazhab yang umum dilakukan adalah Mazhab Hambali dan Syafiâi, namun jika kita shalat berjamaah dan dipimpin oleh imam yang menggunakan mazhab Hanafi, maka kita harus menyesuaikan.
perbedaan mazhab syafi i dan hanafi